Rencana
― Ismail Hashim Yahaya
Kebimbangan politik citra dalam pilihan raya
16 JAN ― Dalam beberapa bulan ke depan, iklim politik di negara
ini akan kembali dilimpahi gemerlapan citra politik dengan diiringi
hiruk pikuk kempen penamaan calon yang semakin dekat.
Maka apa yang akan lahir ialah citra-citra parti dan calon-calonnya
yang bakal menerjah perhatian dan kesedaran melalui aneka media: akhbar,
television, handphone, internet, dan media sosial seperti Facebook dan
Twitter.
Citra atau imej yang asalnya merupakan cara komunikasi politik,
mungkin sekarang menjadi “roh” politik itu sendiri. Citra politik seakan
menjadi tonggak kepada kerangka politik, yang tanpanya tidak ada
kekuatan politik.
Oleh itu ia memerlukan panggung politik yang akan menjelma menjadi
“panggung citra” dengan peranan citra yang kian dominan dalam membangun
kekuatan politik.
Maka tidak keterlaluan jika dikatakan dominasi citra semacam ini
dapat dilihat sebagai peralihan dari “politik fisikal” (physical
politics) ke arah “politik citra” (politics of image). Maka apa yang
menjadi kerahan kekuatan fisikal (jelata, jentera kerajaan dan
seumpamanya) yang menjadi ciri politik kini akan digantikan dengan
pengerahan “kekuatan citra”.
Organisasi politik yang sebelumnya digerakkan oleh mesin konkret
(concrete machine) kini bersandar pada kekuatan “mesin semiotik”
(semiotic machine).
Apa yang dimaksudkan dengan politik fizikal adalah upaya yang secara
sistematik-pragmatik (mengikut keadaan) yang diguna bagi mendapatkan
“kekuasaan”, iaitu dengan mengerahkan segala “kekuatan”, baik kekuatan
material, modal, ekonomi, sosial, budaya simbolik, bahasa dan keagamaan.
Pada tingkat rasionaliti tertentu, politik lebih merayakan kekuatan
fisikal-konkret-kebendaan iaitu individu, kelompok, jelata, khalayak,
teknologi, infrastruktur dengan menolak segala kekuatan “irasional”
(bomoh, tahyul dan seumpamanya ketuhanan).
Unsur kekuatan politik ini disebut John Protevi dalam Political
Physics (2002) sebagai “politik fizik” (political physics). Organsasi
atau siasah politik dibangun oleh kekuatan mutlak —dalam aneka skala:
individu, keluarga, kelompok, parti, geng, korporasi, puak, bangsa; yang
dibantu oleh kekuatan konstituen, kekuatan modal (dana, infrastruktur),
kekuatan sayap parti, kekuatan puak, kekuatan umat, kekuatan teknologi
—yang semuanya dikerahkan bagi membangun kekuasaan politik.
Kemutlakan kekuatan fisikal, tubuh dan material inilah yang disebut
Felix Guattari dalam Molecular Revolution (1984) sebagai “mesin konkret”
(concrete machine). Pelbagai “mesin konkret politik” (mesin khalayak,
mesin media, mesin ekonomi, mesin industri, mesin wang) yang dikerahkan
sebagai cara mendapatkan kekuasaan.
Pengerahan jelata, pengurus kempen, politik wang, sagu hati (topi,
t-shirt, jaket), taburan bantuan kewangan dan sosial (subsidi,
pembangunan jalan, masjid, sekolah), dapat dilihat sebagai elemen “mesin
konkret politik” dalam membangun kekuasaan.
Namun selain fizikal, tubuh politik bangsa juga dibangun oleh
kekuatan “politik” (political metaphysics), metafizikal iaitu segala
kekuatan “melampaui mata kasar” : mistik, paranormal, kekuatan ghaib,
saka, jin, puaka, sihir dan tenun nasib atau astrologi yang dianggap
dapat menganugerahkan kekuasaan.
Bahkan tafsir tarikh pilihan raya pun dijadikan modal sebagai “tanda
kemenangan”, “angka keramat” yang menunjukkan hidupnya “metafisika
politik” dalam panggung politik bangsa.
Namun perkembangan politik abad maya telah menciptakan watak politik
yang tidak lagi didominasi kekuatan fisikal dan metafisikal tetapi
“kekuatan citra”.
Inilah politik yang menjadikan pujukan imagologis (imej) sebagai
tonggak kekuasaan, bukan kekuatan sebenar individu dan kelompok. Citra
yang awalnya menjadi “medium” untuk penyampaian “mesej”, kini malah
menjadi mesej itu sendiri.
Citra politik seakan-akan menjadi sebahagian dari “tubuh politik”,
yang tanpanya tidak ada kekuatan politik di mana ia menjadi layu dan
lesu.
Dunia politik yang didominasi kekuatan citra disebut bagai disebutkan
Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1981)
sebagai dunia “patafisikal” (pataphysics).
Ketika di ambang dan semasa pilihan raya, “mesin citra” sebagai mesin
penggerak utama politik malah mendahului kekuatan fizikal dan
metafizikal. Citra-citra politik tidak saja muncul dalam intensiti yang
tinggi, tetapi juga sarat manipulasi, bujuk rayu dan ilusi.
Citra-citra itu menyamar bagaikan lukisan realiti padahal sebuah
“topeng” untuk menutupi “ketiadaan realiti” dalam patafisika politik
yang membawa kepada sebuah “absurditi politik” di mana penyelewengan
realiti melalui “citra realiti” merupakan sebuah cara kerja politik yang
dianggap sah atau diterima.
Dominasi citra atas realiti menggiring kepada “derealisasi politik”
(derealisation of politic) di mana kekuatan politik dibangun bukan oleh
relasi-relasi konkret, nyata dan substansial pada tingkat realiti sosial
harian, tetapi oleh “kekuatan citra manipulatif” pada tingkat semiotik.
Semiotika politik kini mengambil alih “sosiologi politik”dalam
perayaan politik citra, “kekuatan citra” merampas “kekuatan demos”
(rakyat jelata) itu sendiri kerana demos kini hidup dalam bayang-bayang
“seduksi citra”.
Itulah sebab kenapa demos harus berdemonstrasi menghidupkan realiti
dan bukannya mencitrakan realiti. Demos atau rakyat jelata harus
memberikan tekanan kepada kepimpinan supaya membicarakan realiti
bukannya percaya kepada kekuatan citra.
Demos yang khayal akan terus dilimpahi kekuatan citra semata
mempercayai dicandui oleh mainan manipulatif media seolah-olah seperti
teori kuno komunikasi teori media suntikan sebagai media kecanduan
rakyat.
Ada dibimbangi kekuatan citra itu kini yang (diandaikan) membentuk
demos, bukan kekuatan dari dalam diri demos atau murba sendiri.
Oleh itu jika kekuatan demos berjaya dicandui atau dilemahkan oleh
kekuatan citra maka “demokrasi” (kekuasaan di tangan rakyat) mendapat
makna baru yang dikenali dengan “imagokrasi” (imagocracy) di mana
kekuasaan ada di tangan gemerlap citra dan pencitraan yang dirangka
media.
Bujuk rayu atau seduksi politik” lalu menggantikan “program
politik”politik ilusi di mana ketiga kekuatan yang dikembangkan dalam
kerangka politik bangsa—fisika, metafisika, dan patafisika—bermuara pada
hasrat akan kekuasaan iaitu sepenuhnya memegang bara api kekuasaan.
Tetapi, apa yang dibimbangi ialah ketiga kekuatan itu tidak merupakan
lukisan real politik kerana ketiganya dibangun bukan oleh kekuatan
realiti, tetapi oleh “ilusi-ilusi”, baik yang bercirikan fisik,
metafisik, maupun patafisik.
Bangunan tubuh politik dengan demikian dibangun oleh “kekuatan ilusi”
ini tampaknya, dalam beberapa bulan ke depan ruang politik kita akan
didominasi kekuatan “patafisika politik” meski masih diwarnai oleh
politik fisik dan metafisik.
Ini politik yang didominasi permainan citra akan menjadi
“fantasmagoria politik” (phantasmagoria), iaitu ilusi-ilusi politik yang
membujuk rayu ruang-ruang kesedaran dan perhatian masyarakat melalui
seduksi politik.
Apa yang dibimbangi ialah pembangunan agenda atau gagasan politik
mengandungi kecitraan daripada realiti di mana rakyat sering berhadapan
dengan manipulatif media yang membangunkan secara seduktif dan ilusif.
* Ismail Hashim Yahaya adalah Timbalan Dekan Akademik, Fakulti Media dan Komunikasi, Universiti Selangor (UNISEL)
* Ini adalah pendapat peribadi penulis dan tidak semestinya mewakili pandangan The Malaysian Insider.
No comments:
Post a Comment