Friday, April 19, 2013

RENCANA [OLITIK

Rencana

― Ismail Hashim Yahaya

Kebimbangan politik citra dalam pilihan raya

January 16, 2013
16 JAN ― Dalam beberapa bulan ke depan, iklim politik di negara ini akan kembali dilimpahi gemerlapan citra politik dengan diiringi hiruk pikuk kempen penamaan calon yang semakin dekat.
Maka apa yang akan lahir ialah citra-citra parti dan calon-calonnya yang bakal menerjah perhatian dan kesedaran melalui aneka media: akhbar, television, handphone, internet, dan media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Citra atau imej yang asalnya merupakan cara komunikasi politik, mungkin sekarang menjadi “roh” politik itu sendiri. Citra politik seakan menjadi tonggak kepada kerangka politik, yang tanpanya tidak ada kekuatan politik.

Oleh itu ia memerlukan panggung politik yang akan menjelma menjadi “panggung citra” dengan peranan citra yang kian dominan dalam membangun kekuatan politik.
Maka tidak keterlaluan jika dikatakan dominasi citra semacam ini dapat dilihat sebagai peralihan dari “politik fisikal” (physical politics) ke arah “politik citra” (politics of image). Maka apa yang menjadi kerahan kekuatan fisikal (jelata, jentera kerajaan dan seumpamanya) yang menjadi ciri politik kini akan digantikan dengan pengerahan “kekuatan citra”.

Organisasi politik yang sebelumnya digerakkan oleh mesin konkret (concrete machine) kini bersandar pada kekuatan “mesin semiotik” (semiotic machine).
Apa yang dimaksudkan dengan politik fizikal adalah upaya yang secara sistematik-pragmatik (mengikut keadaan) yang diguna bagi mendapatkan “kekuasaan”, iaitu dengan mengerahkan segala “kekuatan”, baik kekuatan material, modal, ekonomi, sosial, budaya simbolik, bahasa dan keagamaan.

Pada tingkat rasionaliti tertentu, politik lebih merayakan kekuatan fisikal-konkret-kebendaan iaitu individu, kelompok, jelata, khalayak, teknologi, infrastruktur dengan menolak segala kekuatan “irasional” (bomoh, tahyul dan seumpamanya ketuhanan).

Unsur kekuatan politik ini disebut John Protevi dalam Political Physics (2002) sebagai “politik fizik” (political physics). Organsasi atau siasah politik dibangun oleh kekuatan mutlak —dalam aneka skala: individu, keluarga, kelompok, parti, geng, korporasi, puak, bangsa; yang dibantu oleh kekuatan konstituen, kekuatan modal (dana, infrastruktur), kekuatan sayap parti, kekuatan puak, kekuatan umat, kekuatan teknologi —yang semuanya dikerahkan bagi membangun kekuasaan politik.

Kemutlakan kekuatan fisikal, tubuh dan material inilah yang disebut Felix Guattari dalam Molecular Revolution (1984) sebagai “mesin konkret” (concrete machine). Pelbagai “mesin konkret politik” (mesin khalayak, mesin media, mesin ekonomi, mesin industri, mesin wang) yang dikerahkan sebagai cara mendapatkan kekuasaan.

Pengerahan jelata, pengurus kempen, politik wang, sagu hati (topi, t-shirt, jaket), taburan bantuan kewangan dan sosial (subsidi, pembangunan jalan, masjid, sekolah), dapat dilihat sebagai elemen “mesin konkret politik” dalam membangun kekuasaan.

Namun selain fizikal, tubuh politik bangsa juga dibangun oleh kekuatan “politik” (political metaphysics), metafizikal iaitu segala kekuatan “melampaui mata kasar” : mistik, paranormal, kekuatan ghaib, saka, jin, puaka, sihir dan tenun nasib atau astrologi yang dianggap dapat menganugerahkan kekuasaan.
Bahkan tafsir tarikh pilihan raya pun dijadikan modal sebagai “tanda kemenangan”, “angka keramat” yang menunjukkan hidupnya “metafisika politik” dalam panggung politik bangsa.

Namun perkembangan politik abad maya telah menciptakan watak politik yang tidak lagi didominasi kekuatan fisikal dan metafisikal tetapi “kekuatan citra”.
Inilah politik yang menjadikan pujukan imagologis (imej) sebagai tonggak kekuasaan, bukan kekuatan sebenar individu dan kelompok. Citra yang awalnya menjadi “medium” untuk penyampaian “mesej”, kini malah menjadi mesej itu sendiri.

Citra politik seakan-akan menjadi sebahagian dari “tubuh politik”, yang tanpanya tidak ada kekuatan politik di mana ia menjadi layu dan lesu.
Dunia politik yang didominasi kekuatan citra disebut bagai disebutkan Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1981) sebagai dunia “patafisikal” (pataphysics).

Ketika di ambang dan semasa pilihan raya, “mesin citra” sebagai mesin penggerak utama politik malah mendahului kekuatan fizikal dan metafizikal. Citra-citra politik tidak saja muncul dalam intensiti yang tinggi, tetapi juga sarat manipulasi, bujuk rayu dan ilusi.

Citra-citra itu menyamar bagaikan lukisan realiti padahal sebuah “topeng” untuk menutupi “ketiadaan realiti” dalam patafisika politik yang membawa kepada sebuah “absurditi politik” di mana penyelewengan realiti melalui “citra realiti” merupakan sebuah cara kerja politik yang dianggap sah atau diterima.

Dominasi citra atas realiti menggiring kepada “derealisasi politik” (derealisation of politic) di mana kekuatan politik dibangun bukan oleh relasi-relasi konkret, nyata dan substansial pada tingkat realiti sosial harian, tetapi oleh “kekuatan citra manipulatif” pada tingkat semiotik.
Semiotika politik kini mengambil alih “sosiologi politik”dalam perayaan politik citra, “kekuatan citra” merampas “kekuatan demos” (rakyat jelata) itu sendiri kerana demos kini hidup dalam bayang-bayang “seduksi citra”.

Itulah sebab kenapa demos harus berdemonstrasi menghidupkan realiti dan bukannya mencitrakan realiti. Demos atau rakyat jelata harus memberikan tekanan kepada kepimpinan supaya membicarakan realiti bukannya percaya kepada kekuatan citra.

Demos yang khayal akan terus dilimpahi kekuatan citra semata mempercayai dicandui oleh mainan manipulatif media seolah-olah seperti teori kuno komunikasi teori media suntikan sebagai media kecanduan rakyat.

Ada dibimbangi kekuatan citra itu kini yang (diandaikan) membentuk demos, bukan kekuatan dari dalam diri demos atau murba sendiri.
Oleh itu jika kekuatan demos berjaya dicandui atau dilemahkan oleh kekuatan citra maka “demokrasi” (kekuasaan di tangan rakyat) mendapat makna baru yang dikenali dengan “imagokrasi” (imagocracy) di mana kekuasaan ada di tangan gemerlap citra dan pencitraan yang dirangka media.

Bujuk rayu atau seduksi politik” lalu menggantikan “program politik”politik ilusi di mana ketiga kekuatan yang dikembangkan dalam kerangka politik bangsa—fisika, metafisika, dan patafisika—bermuara pada hasrat akan kekuasaan iaitu sepenuhnya memegang bara api kekuasaan.

Tetapi, apa yang dibimbangi ialah ketiga kekuatan itu tidak merupakan lukisan real politik kerana ketiganya dibangun bukan oleh kekuatan realiti, tetapi oleh “ilusi-ilusi”, baik yang bercirikan fisik, metafisik, maupun patafisik.

Bangunan tubuh politik dengan demikian dibangun oleh “kekuatan ilusi” ini tampaknya, dalam beberapa bulan ke depan ruang politik kita akan didominasi kekuatan “patafisika politik” meski masih diwarnai oleh politik fisik dan metafisik.
Ini politik yang didominasi permainan citra akan menjadi “fantasmagoria politik” (phantasmagoria), iaitu ilusi-ilusi politik yang membujuk rayu ruang-ruang kesedaran dan perhatian masyarakat melalui seduksi politik.

Apa yang dibimbangi ialah pembangunan agenda atau gagasan politik mengandungi kecitraan daripada realiti di mana rakyat sering berhadapan dengan manipulatif media yang membangunkan secara seduktif dan ilusif.

* Ismail Hashim Yahaya adalah Timbalan Dekan Akademik, Fakulti Media dan Komunikasi, Universiti Selangor (UNISEL)
* Ini adalah pendapat peribadi penulis dan tidak semestinya mewakili pandangan The Malaysian Insider.

No comments:

Post a Comment